Penjelasan Sholat Muthlaq Nisfu Sya'ban
Banyak orang menuduh shalat nisfu Sya’ban sebagai bid’ah. Mereka menuduh
demikian bisa jadi dengan niat yang baik untuk membersihkan praktek
ibadah dari Bid’ah dan mengembalikan agar ibadah yang dilakukan sesuai
sunah Rasul. Alasannya sangat sederhana karena shalat Nisfu Sya’ban
tidak pernah dikerjakan jaman Rasul. Benarkah shalat Nisfu Sya’ban
bidah? Apakah nabi tidak pernah melakukannya?
Untuk lebih melengkapi khazanah kita, akan kami paparkan pula beberapa
pertanyaan yang mengingkari shalat nisfu Sya’ban dari berbagai dialog.
Antara lain:
Pertanyaan Pertama:
Tidak ada keistimewaan malam nisfu Sya’ban dibandingkan malam lainnya.
Sehingga tidak perlu mengkhususkan ibadah pada malam tersebut. Beberapa
Hadis yang menerangkan keutamaan nisfu Sya’ban adalah maudhu’ (palsu)
dan dha’if. Sehingga tidak boleh diamalkan.
Para ulama semisal Ibnu Rajab, Ibnul Jauzi, Imam al-Ghazali, Ibnu Katsir
dan yang lainnya, menyatakan hadits-hadits yang berbicara seputar
keutamaan malam Nishfu Sya'ban ini sangat banyak jumlahnya. Hanya,
umumnya hadits-hadits tersebut dhaif, namun ada juga beberapa hadits
yang Hasan dan Shahih Lighairihi. Untuk lebih jelasnya, berikut di
antara hadits-hadits dimaksud:
Hadis 1
عن علي بن إبي طالب عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((إذا كان ليلة نصف
شعبان فقوموا ليلها, وصوموا نهارها, فإن الله تعالى ينزل فيها لغروب الشمس
إلى سماء الدنيا, فيقول: ألا مستغفر فأغفرله, ألا مسترزق فأرزقه, ألا مبتلى
فأعافيه, ألا كذا ألا كذا, حتى يطلع الفجر)) [رواه ابن ماجه والحديث ضعفه
الألبانى]
Artinya: "Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah saw bersabda: "Apabila
sampai pada malam Nishfu Sya'ban, maka shalatlah pada malam harinya dan
berpuasalah pada siang harinya, karena sesungguhnya Allah akan turun ke
dunia pada malam tersebut sejak matahari terbenam dan Allah berfirman:
"Tidak ada orang yang meminta ampun kecuali Aku akan mengampuni segala
dosanya, tidak ada yang meminta rezeki melainkan Aku akan memberikannya
rezeki, tidak ada yang terkena musibah atau bencana, kecuali Aku akan
menghindarkannya, tidak ada yang demikian, tidak ada yang demikian,
sampai terbit fajar" (HR. Ibnu Majah dan hadits tersebut dinilai Hadits
Dhaif oleh Syaikh al-Albany).
Hadis 2
عن عائشة قالت: فقدت النبي صلى الله عليه وسلم فخرجت فإذا هو بالبقيع رافع
رأسه إلى السماء, فقال: ((أكنت تخافين إن يحيف الله عليك ورسوله؟)) فقلت:
يا رسول الله, ظننت أنك أتيت بعض نسائك. فقال: ((إن الله تبارك وتعالى ينزل
ليلة النصف من شعبان إلى سماء الدنيا فيغفر لأكثر من عدد شعر غنم كلب))
[رواه أحمد والترمذى وابن ماجه وضعفه الألبانى فى ضعيف الترمذى].
Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Suatu malam saya kehilangan Rasulullah
saw, lalu aku mencarinya. Ternyata beliau sedang berada di Baqi' sambil
menengadahkan wajahnya ke langit. Beliau bersabda: "Apakah kamu (wahai
Aisyah) khawatir Allah akan menyia-nyiakan kamu dan RasulNya?" Aku
menjawab: "Wahai Rasulullah, saya pikir anda pergi mendatangi di antara
isteri-isterimu". Rasulullah saw bersabda kembali: "Sesungguhnya Allah
turun ke dunia pada malam Nishfu Sya'ban dan mengampuni ummatku lebih
dari jumlah bulu domba yang digembalakan" (HR. Ahmad, Ibn Majah dan
Turmidzi. Syaikh al-Albany menilai hadits riwayat Imam Turmudzi tersebut
sebagai hadits Dhaif sebagaimana ditulisnya pada 'Dhaifut Turmudzi').
Kedua hadits tersebut adalah hadits yang dinilai Dhaif oleh jumhur
Muhaditsin di antaranya oleh Syaikh Albany, seorang ulama yang tekenal
sangat ketat dengan hadits.
Namun demikian, di bawah ini juga penulis hendak mengetengahkan Hadits
Hasan dan Shahih Lighairihi yang berbicara seputar keutamaan malam
Nishfu Sya'ban ini. Hadits-hadits dimaksud adalah:
Hadis 3
عن أبي موسى عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((إن الله ليطلع ليلة النصف
من شعبان فيغفر لجميع خلقه, إلا لمشرك أو مشاحن)) [رواه ابن ماجه وحسنه
الشيخ الألبانى فى صحيح ابن ماجه (1140)]
Artinya: "Dari Abu Musa, Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah
muncul (ke dunia) pada malam Nishfu Sya'ban dan mengampuni seluruh
makhlukNya, kecuali orang musyrik dan orang yang dengki dan iri kepada
sesama muslim" (HR. Ibn Majah, dan Syaikh Albani menilainya sebagai
hadits Hasan sebagaimana disebutkan dalam bukunya Shahih Ibn Majah no
hadits 1140).
Hadis 4
عن عبد الله بن عمرو عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((إن الله ليطلع إلى
خلقه ليلة النصف من شعبان فيغفر لعباده إلا اثنين: مشاحن, أو قاتل نفس))
[رواه أحمد وابن حبان فى صحيحه]
Artinya: "Dari Abdullah bin Amer, Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya
akan menemui makhlukNya pada malam Nishfu Sya'ban, dan Dia mengampuni
dosa hamba-hambanya kecuali dua kelompok yaitu orang yang menyimpan
dengki atau iri dalam hatinya kepada sesama muslim dan orang yang
melakukan bunuh diri" (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban sebagaimana ditulisnya
dalam buku Shahihnya).
Namun, Syaikh Syu'aib al-Arnauth menilai hadits tersebut hadits yang
lemah, karena dalam sanadnya ada dua rawi yang bernama Ibn Luhai'ah dan
Huyay bin Abdullah yang dinilainya sebagai rawi yang lemah. Namun
demikian, ia kemudian mengatakan bahwa meskipun dalam sanadnya lemah,
akan tetapi hadits tersebut dapat dikategorikan sebagai hadits Shahih
karena banyak dikuatkan oleh hadits-hadits lainnya (Shahih bi
Syawahidih).
Hadis 5
عن عثمان بن أبي العاص مرفوعا قال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
((إذا كان ليلة النصف من شعبان نادى مناد: هل من مستغفر فأغفر له؟ هل من
سائل فأعطيه؟ فلا يسأل أحد شيئا إلا أعطيه, إلا زانية بفرجها أو مشركا))
[رواه البيهقى]
Artinya: "Dari Utsman bin Abil Ash, Rasulullah saw bersabda: "Apabila
datang malam Nishfu Sya'ban, Allah berfirman: "Apakah ada orang yang
memohon ampun dan Aku akan mengampuninya? Apakah ada yang meminta dan
Aku akan memberinya? Tidak ada seseorang pun yang meminta sesuatu
kecuali Aku akan memberinya, kecuali wanita pezina atau orang musyrik"
(HR. Baihaki).
Dengan memperhatikan, di antaranya, hadits-hadits di atas, maka tidak
berlebihan apabila banyak ulama berpegang teguh bahwa malam Nishfu
Sya'ban adalah malam yang istimewa, karena bukan hanya dosa-dosa akan
diampuni, akan tetapi juga doa akan dikabulkan. Hadits-hadits yang
dipandang Dhaif yang berbicara seputar keistimewaan malam Nishfu Sya'ban
ini, paling tidak kedudukan haditsnya menjadi terangkat oleh
hadits-hadits lain yang berstatus Hasan atau Shahih Lighairihi.
Atau boleh juga dikatakan, karena hadits-hadits dhaif yang berbicara
seputar keutamaan malam Nishfu Sya'ban ini dhaifnya tidak parah dan
tidak berat, maka satu sama lain menjadi saling menguatkan sehingga
kedudukannya naik menjadi Hadits Hasan Lighairihi. Wallahu'alam.
Istimewanya malam Nishfu Sya'ban ini juga dikuatkan oleh atsar para
sahabat. Imam Ali bin Abi Thalib misalnya, sebagaimana dikutip Ibnu
Rajab, apabila datang malam Nishfu Sya'ban, ia banyak keluar rumah untuk
melihat dan berdoa ke arah langit, sambil berkata: "Sesungguhnya Nabi
Daud as, apabila datang malam Nishfu Sya'ban, beliau keluar rumah dan
menengadah ke langit sambil berkata: "Pada waktu ini tidak ada seorang
pun yang berdoa pada malam ini kecuali akan dikabulkan, tidak ada yang
memohon ampun, kecuali akan diampuni selama bukan tukang sihir atau
dukun". Imam Ali lalu berkata: "Ya Allah, Tuhannya Nabi Daud as,
ampunilah dosa orang-orang yang meminta ampun pada malam ini, serta
kabulkanlah doa orang-orang yang berdoa pada malam ini".
Sebagian besar ulama Tabi'in seperti Khalid bin Ma'dan, Makhul, Luqman
bin Amir dan yang lainnya, juga mengistimewakan malam ini dengan jalan
lebih mempergiat ibadah, membaca al-Qur'an dan berdoa. Demikian juga hal
ini dilakukan oleh jumhur ulama Syam dan Bashrah.
Bahkan, Imam Syafi'i pun beliau mengistimewakan malam Nishfu Sya'ban ini
dengan jalan lebih mempergiat ibadah, doa dan membaca al-Qur'an. Hal
ini sebagaimana nampak dalam perkataannya di bawah ini:
بلغنا أن الدعاء يستجاب فى خمس ليال: ليلة الجمعة, والعيدين, وأول رجب, ونصف شعبان. قال: واستحب كل ما حكيت فى هذه الليالي
Artinya: "Telah sampai kepada kami riwayat bahwa dua itu akan (lebih
besar kemungkinan untuk) dikabulkan pada lima malam: Pada malam Jum'at,
malam Idul Fithri, malam Idul Adha, malam awal bulan Rajab, dan pada
malam Nishfu Sya'ban. Imam Syafi'i berkata kembali: "Dan aku sangat
menekankan (untuk memperbanyak doa) pada seluruh malam yang telah aku
ceritakan tadi".
Dari pemaparan di atas nampak bahwa sebagian besar para ulama salaf
memandang istimewa malam ini, karenanya mereka mengisinya dengan
mempergiat dan memperbanyak ibadah termasuk berdoa, shalat dan membaca
al-Qur'an.
Pertanyaan Kedua:
Shalat Nisfu Sya’ban Bid’ah karena tidak pernah dilakukan Rasul. Sehingga ibadah mereka tidak sesuai sunnah Rasul.
Nama panjang dari shalat Nisfu Sya’ban adalah “SHALAT MUTHLAQ yang
dilakukan pada malam Nisfu Sya’ban”. Untuk memudahkan pengucapan, ulama
menyebutnya shalat nisfu Sya’ban.
Karena termasuk jenis shalat Muthlaq, maka boleh dikerjakan kapan saja
termasuk malam pertengahan Sya’ban selama dikerjakan tidak pada waktu
yang dilarang. Kalau pada malam yang lain boleh melakukan shalat
Muthlaq, maka pada malam nisfu Sya’ban juga boleh.
Membid’ahkan shalat nisfu Sya’ban sama dengan membid’ahkan shalat Muthlaq yang sunnah.
Apalagi ada hadis yang menyatakan bahwa Rasul menggiatkan qiyamul layl
pada malam nisfu Sya’ban. Semakin kuat lah dasar shalat nisfu Sya’ban.
عَنِ الْعَلاَءِ بْنِ الْحَارِثِ اَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَامَ رَسُوْلُ
الله مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى ظَنَنْتُ
أَنَّهُ قَدْ قُبِضَ، فَلَمَّا رَأَيْتُ ذَلِكَ قُمْتُ حَتَّى حَرَّكْتُ
إِبْهَامَهُ فَتَحَرَّكَ فَرَجَعَ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ
السُّجُودِ وَفَرَغَ مِنْ صَلاَتِهِ قَالَ: يَا عَائِشَةُ أَوْ يَا
حُمَيْرَاءُ أَظَنَنْتِ أَنَّ النَّبِيَّ قَدْ خَاسَ بِكِ؟ قُلْتُ: لاَ
وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَلَكِنِّي ظَنَنْتُ أَنْ قُبِضْتَ طُوْلَ
سُجُوْدِكَ، قَالَ:أَتَدْرِي أَيَّ لَيْلَةٍ هَذِهِ؟ قُلْتُ: اللهُ
وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ
النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِيْنَ وَيَرْحَمُ
الْمُسْتَرْحِمِيْنَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ كَمَا هُمْ، رَوَاهُ
الْبَيْهَقِيُّ. وَقَالَ هَذَا مُرْسَلٌ جَيِّدٌ وَيُحْتَمَلُ أَنْ
يَكُوْنَ الْعَلاَءُ أَخَذَهُ مِنْ مَكْحُوْلٍ
“Dari 'Ala' bin Charits bahwa Aisyah berkata: “Rasulullah bangun di
tengan malam kemudian beliau salat, kemudian sujud sangat lama, sampai
saya menyangka bahwa beliau wafat. Setelah itu saya bangun dan saya
gerakkan kaki Nabi dan ternyata masih bergerak. Kemudian Rasul bangkit
dari sujudnya setelah selesai melakukan shalatnya, Nabi berkata “Wahai
Aisyah, apakah kamu mengira Aku berkhianat padamu?”, saya berkata “Demi
Allah, tidak, wahai Rasul, saya mengira engkau telah tiada karena sujud
terlalu lama.” Rasul bersabda “Tahukauh kamu malam apa sekang ini?” Saya
menjawab “Allah dan Rasulnya yang tahu”. Rasulullah bersabda “ini
adalah malam Nishfu Sya’ban, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla
memperhatikan hamba-hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Allah akan
mengampuni orang-orang yang meminta ampunan, mengasihi orang-orang yang
meminta dikasihani, dan Allah tidak akan memprioritaskan orang-orang
yang pendendam”.(HR Al Baihaqi fi Syuab Al Iman no 3675, menurutnya
hadits ini Mursal yang baik)
Catatan:
1. Letak ke-mursal-an hadits tersebut karena Al ‘Ala’ bin Al Charits
adalah seorang Tabiin yang tidak pernah berjumpa dengan Aisyah, prediksi
Al Baihaqi menyebutkan Al ‘Ala’ memperoleh hadits tersebut dari
gurunya, Makchul. Imam Achmad menilai Al ‘Ala’ sebagai orang yang sahih
haditsnya. Abu Chatim berkata: Tidak ada murid Makchul yang lebih
terpercaya dari pada Al ‘Ala’. Ibnu Hajar menyebut Al ‘Ala’ sebagai
orang yang jujur dan berilmu fikih, tetapi ia dituduh pengikut
Qadariyah. (Mausu’ah Ruwat Al Hadits)
2. Para Imam Madzhab, seperti Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal
mengkategorikan hadis Mursal sebagai hadis yang dapat diterima (Hadis
Maqbul) bila memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya Sahabat atau
Tabiin yang digugurkan dari sanad merupakan seorang yang dikenal
kredibilitasnya, tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih shahih,
dan lain sebagainya, sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab
Ulumul Hadits.
مجموع فتاوى ابن تيمية ج 2 ص 469
وَسُئِلَ عَنْ صَلاَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ؟ (الْجَوَابُ) فَأَجَابَ: إذَا
صَلَّى اْلإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ فِيْ جَمَاعَةٍ
خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ فَهُوَ أَحْسَنُ.
وَأَمَّا اْلاِجْتِمَاعُ فِي الْمَسَاجِدِ عَلَى صَلاَةٍ مُقَدَّرَةٍ.
كَاْلاِجْتِمَاعِ عَلَى مِائَةِ رَكْعَةٍ بِقِرَاءَةِ أَلْفٍ: {قُلْ هُوَ
اللهُ أَحَدٌ} دَائِمًا. فَهَذَا بِدْعَةٌ لَمْ يَسْتَحِبَّهَا أَحَدٌ مِنَ
اْلأَئِمَّةِ. وَاللهُ أَعْلَمُ.
“Ibnu Taimiyah ditanyai soal shalat pada malam nishfu Sya’ban. Ia
menjawab: Apabila seseorang shalat sunah muthlak pada malam nishfu
Sya’ban sendirian atau berjamaah, sebagaimana dilakukan oleh segolongan
ulama salaf, maka hukumnya adalah baik. Adapun kumpul-kumpul di masjid
dengan shalat yang ditentukan, seperti salat seratus raka’at dengan
membaca surat al Ikhlash sebanyak seribu kali, maka ini adalah perbuata
bid’ah yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama”. (Majmú'
Fatáwá Ibnu Taymiyyah, II/469)
فيض القدير ج 2 ص 302
(تَنْبِيْهٌ) قَالَ المَجْدُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ لَيْلَةُ نِصْفِ شَعْبَانَ
رُوِىَ فِى فَضْلِهَا مِنَ اْلأَخْبَارِ وَاْلأثَارِ مَا يَقْتَضِى أنَّهَا
مُفَضَّلَةٌ وَمِنَ السَّلَفِ مَنْ خَصَّهَا بِالصَّلاَةِ فِيْهَا
“Ibnu Taimiyah berkata : Dari beberapa hadis dan pandapat para sahabat
menunjukkan bahwa malam Nishfu Sya’ban memiliki keutamaan tersendiri.
Sebagian ulama Salaf melaksanakan salat sunah secara khusus di malam
tersebut”. (Faidl al-Qadír, II/302)
اعانة الطالبين ج 1 ص 271
قَالَ العَلاَّمَةُ الْكُرْدِى وَاخْتَلَفَ اْلعُلَمَاءُ فِيْهَا
فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ لَهَا طُرُقٌ إذَا اجْتُمِعَتْ وَصَلَ الْحَدِيْثُ
إلَى حَدٍّ يُعْمَلُ بِهِ فِى فَضَائِلِ اْلأَعْمَالِ وَمِنْهُمْ مَنْ
حَكَمَ عَلَى حَدِيْثِهَا بِالْوَضْعِ وَمِنْهُمُ النَّوَوِى وَتَبِعَ
الشَّارِحُ فِى كُتُبِهِ.
“Syeikh Al Kurdy berkata : Para Ulama berbeda pendapat mengenai
hadis-hadis yang berhubungan dengan salat sunah malam Nishfu Sya’ban,
diantara para ulama ada yang mengatakan bahwa hadis tersebut (meskipun
Dloif) memiliki banyak jalur riwayat, yang secara keseluruhan
(akumulasi) hadis tersebut boleh dilaksanakan dalam hal Fadlailul A’mal
(naik peringkat menjadi hadis hasan lighairihi). Diantara ulama yang
lain menghukuminya sebagai hadis palsu, seperti Imam Nawawi dan Syekh
Zainuddin Al Malibary”. (I'ánah al-Thálibín, I/271)
Bahkan kalau kita menyandarkan pada hadis di atas, justru MEREKA YANG
SHALAT PADA MALAM NISFU SYA’BAN IBADAHNYA SESUAI SUNNAH RASUL.
Pertanyaan Ketiga:
Shalat Nisfu Sya’ban saja Bid’ah, apalagi melakukannya secara berjamaah.
Semakin jauh dari Islam. Kalaulah memang bagus mengapa Rasul dan
sahabat tidak melakukan? Padahal Mereka adalah generasi terbaik.
Saudaraku, selama ada dalil umum yang membolehkan, maka mengenai
tekhnisnya berjamaah atau tidak, dapat diatur menurut kondisi dan
keadaan.
Pelaksanaan mengisi malam Nishfu Sya'ban diberjamaahkan ini pertama kali
dilakukan oleh ulama tabi'in yang bernama Khalid bin Ma'dan, lalu
diikuti oleh ulama tabi'in lainnya seperti Makhul, Luqman bin Amir dan
yang lainnya. Bahkan terus berlanjut dan menjadi tradisi ulama Syam dan
Bashrah sampai saat ini.
Meski tidak dilakukan pada masa Rasulullah saw dan para sahabatnya, kami
lebih condong untuk mengatakan tidak mengapa dan tidak dilarang. Tidak
semua yang tidak dipraktekkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya
menjadi sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Selama ada hadits dan qaidah
umum yang membolehkan, maka mengenai tehnis, apakah diberjamaahkan atau
sendiri-sendiri, semuanya diserahkan kepada masing-masing dan tentu
diperbolehkan. Hal ini sebagaimana tradisi takbir berjamaah pada malam
hari raya.
Hal ini tidak dilakukan pada masa Rasulullah saw dan para sahabatnya.
Rasulullah saw dan para sahabat hanya melakukannya di rumah
masing-masing. Tradisi berjamaah membaca takbir pada malam Hari Raya ini
pertama kali dilakukan oleh seorang ulama tabi'in yang bernama
Abdurrahman bin Yazid bin al-Aswad. Dan tradisi ini pun sampai saat ini
masih diberlakukan dan diamalkan hampir di seluruh negara-negara muslim.
Demikian juga dengan shalat Tarawih diberjamaahkan. Rasulullah saw hanya
melakukannya satu, dua atau tiga malam saja secara berjamaah. Setelah
itu, beliau melakukannya sendiri. Dan hal ini berlaku juga sampai masa
khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq serta pada permulaan khalifah Umar bin
Khatab. Setelah Umar bin Khatab masuk ke sebuah mesjid dan menyaksikan
orang shalat tarawih sendiri-sendiri, akhirnya beliau melihat alangkah
lebih baiknya apabila diberjamaahkan. Sejak itu, beliau manunjuk sahabat
Rasulullah saw yang bernama Ubay bin Ka'ab untuk menjadi imam pertama
shalat Tarawih diberjamaahkan. Tradisi ini juga berjalan dan terus
dipraktekkan sampai sekarang ini.
Kalaulah shalat qiyamu Ramadhan (Tarawih) yang beliau lakukan selalu
tidak berjamaah dengan sahabat, kecuali hanya 1-3 malam saja, boleh
dilakukan secara berjamaah, lalu takbir malam ‘Ied juga boleh dilakukan
secara berjamaah, mengapa shalat Muthlaq malam nisfu Sya’ban (untuk
menyingkat selanjutnya disebut “shalat Nisfu Sya’ban”) tidak boleh
dilakukan berjamaah? Tentu ini tidak fair.
Di zaman Rasul, para sahabat dengan melihat rasul qiyamul layl saja
mereka sudah melakukannya. Namun di akhir zaman ini jika ada ustad
berkata, “wahai umat Islam, shalat tarawih yang dilakukan Rasul tidak
berjamaah dan dilakukan di tengah malam (bukan ba’da Isya langsung).
Oleh karena itu shalatlah sendiri-sendiri nanti malam.” Yang shalat
tarawih pasti sedikit. Kecuali instruksi itu untuk bangun malam dalam
rangka menyaksikan final piala dunia antara Belanda Vs Spanyol insya
Allah jamaahnya banyak meskipun jam 1.30 malam.
Jadi kondisi zaman mengarahkan untuk shalat tarawih secara berjamaah.
Begitu pula dengan shalat nisfu Sya’ban. Di akhir zaman ini, Kalau
shalat Nisfu Sya’ban (apalagi jika 100 raka’at) dilakukan hanya boleh
sendiri-sendiri, saya yakin sangat-sangat sedikit orang yang mau
menghidupkan malam Nisfu Sya’ban. Namun kalau dilakukan secara
berjamaah, satu sama lain dapat saling memotivasi sehingga lebih
semangat.
Pertanyaan Keempat:
Terlebih lagi dalam shalat nisfu Sya’ban, mereka menetapkan jumlah 100 rakaat. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasul.
Ada beberapa alasan mengapa saya shalat nisfu Sya’ban 100 rakaat:
1. Karena shalat nisfu Sya’ban termasuk shalat Muthlaq, maka jumlahnya
bebas. 10 rakaat boleh, 20, 30, bahkan 100 rakaat juga boleh. Kalau kita
sanggup 1.000 rakaat juga tidak ada yang melarang, karena shalat
Muthlaq. Mengapa kita berani melarang jumlah tertentu dalam shalat
Muthlaq? Apakah kalau 99 rakaat boleh, 101 juga boleh lalu khusus 100
rakaat tidak boleh?
Nabi SAW pernah berkata kepada Bilal, sesudah mengerjakan shalat Shubuh
sebagaimana berikut: “Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku amalan yang
engkau kerjakan dalam Islam yang penuh dengan pengharapan karena aku
mendengar suara sandalmu di depanku di syurga”. Bilal menjawab tidak
pernah aku melakukan suatu perbuatan yang saya harapkan kebaikannya,
melainkan pasti aku bersuci dahulu, baik saatnya malam hari atau siang
hari. Sesudah aku bersuci aku melakukan shalat sebanyak yang dapat
kulakukan”. (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
Jabir bin Hayyan, penemu ilmu Kimia sekaligus orang pertama memperoleh
julukan Sufi, melakukan shalat Muthlaq 400 rakaat sebelum memulai
penelitian.
Kalau ada seseorang menganjurkan untuk shalat nisfu Sya’ban 77 rakaat
karena dia senang dengan angka 7, boleh saja. Namun daripada saya
mengikuti dia, lebih baik saya mengikuti para ulama yang shalih.
2. Banyak ulama-ulama shalih yang ahli ma’rifat seperti syekh Abdul
Qadir Jailani melakukan shalat nisfu Sya’ban 100 rakaat, begitu pula
dengan imam Ghazali dan ulama lainnya. Maka tidak ada salahnya jika kita
mengikuti beliau. (baca juga dasar hukum shalat Rajab, Nisfu Sya’ban
dll di tqn-jakarta.org)
Dan ikutilah jalannya orang yang kembali kepadaKu (Luqman 31:15)
3. Jumlah 100 rakaat ada hadisnya. Meskipun banyak orang yang menolak
hadis tersebut. Namun Imam Ahmad berkata, “hadis dhaif lebih aku sukai
daripada pendapat pribadi seseorang".
Pertanyaan Kelima:
Bacaan dalam shalat Nisfu Sya’ban (al-Ikhlas 10 kali setelah al-Fatihah,
sehingga dikallikan 100 rakaat menjadi 1.000 kali membaca al-Ikhlas)
adalah bacaan yang mengada-ada. Tidak pernah dilakukan juga oleh Rasul.
Bacaan yang dibaca dalam shalat nisfu Sya’ban setelah al-Fatihah
terserah. Ayat manapun termasuk al-Ikhlas boleh dibaca dalam shalat
asalkan ayat al-Qur’an. Tidak ada juga ketentuan bahwa surat al-Ikhlas
tidak boleh dibaca beberapa kali dalam satu rakaat.
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْءَانِ
karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an. (QS. Al-Muzammil:20)
Imam masjid Quba selalu membaca surat Al Ikhlas disetiap habis fatihah,
ia selalu menyertakan surat Al Ikhlas lalu baru surat lainnya, lalu
makmumnya protes, seraya meminta agar ia menghentikan kebiasaanya, namun
Imam itu menolak, silahkan pilih imam lain kalau kalian mau, aku akan
tetap seperti ini!, maka ketika diadukan pada Rasul saw, maka Rasul saw
bertanya mengapa kau berkeras dan menolak permintaan teman temanmu (yg
meminta ia tak membaca surat al ikhlas setiap rakaat), dan apa pula yg
membuatmu berkeras mendawamkannya setiap rakaat?” ia menjawab : “Aku
mencintai surat Al Ikhlas”, maka Rasul saw menjawab : “Cintamu pada
surat Al Ikhlas akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari hadits no.
741).
Kesimpulannya, shalat Muthlaq pada malam nisfu Sya’ban secara berjamaah
sebanyak 100 rakaat dengan membaca surat al-Ikhlas 10 kali setiap bada
Fatihah DIBOLEHKAN. Jangan sampai kita mengharamkan apa yang dihalalkan
Allah. Kalau nabi saja tidak boleh apalagi kita.
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ
HAI NABI, MENGAPA KAMU MENGHARAMKAN APA YANG ALLAH HALALKAN BAGIMU (QS. At-Tahrim:6)
Komentar