Penjelasan Tentang Tawassul
Dalam kitab Riyadlus-Shalihin bab Wadaais-shahib hadits no.3, Rasulullah
SAW bertawassul supaya Umar jangan lupa untuk menyertakan Rasulullah
dalam segala do’anya di Mekkah ketika umrah :
عَنْ عُمَرَبْنِ اْلخَطَّابِ رَضِىَاللهُ عَنْهُ قَالَ اِسْتَأْذَنْتُ
النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى اْلعُمْرَةِ فَأذِنَ لىِ
وَقَالَ: لاَتَنْسَنَا يَااُخَيَّ مِنْ دُعَائِكَ فَقَالَ كَلِمَةً
مَايَسُرُّنِى اَنَّ لىِ بِهَاالدُّنْيَا. وَفِى رِوَايَةِ قَالَ
اَشْرِكْنَا يَااُخَىَّ فِى دُعَائِكَ. رواه ابوداود والترمذى
“Dari shahabat Umar Ibnul Khattab r.a. berkata: saya minta idzin kepada
Nabi SAW untuk melakukan ibadah umrah, kemudian Nabi mengidzinkan saya
dan Rasulullah SAW bersabda; wahai saudaraku! Jangan kau lupakan kami
dalam do’amu; Umar berkata: suatu kalimat yang bagi saya lelah senang
dari pada pendapat kekayaan dunia. Dalam riwayat lain; Rasulullah SAW
bersabda: sertakanlah kami dalam do’amu”. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
Wasilah secara syar’i (terminologi) yaitu yang diperintahkan di dalam
Al-Qur-an adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada
Allah Azza wa Jalla, yaitu berupa amal ketaatan yang disyari’atkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ
الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan
yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya,
supaya kamu mendapat keberuntungan.” [Al-Maa-idah: 35]
أُولَـئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ
أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ
عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُوراً
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada
Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya, sesungguhnya azab
Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti” [Surat Al-Isra [17] : 57]
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu berkata: “Makna wasilah dalam ayat
tersebut adalah peribadahan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah
(al-Qurbah).” Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Abu Wa’il,
al-Hasan, ‘Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid dan yang lainnya.
Qatadah berkata tentang makna ayat tersebut:
تَقَرَّبُوْا إِلَيْهِ بِطَاعَتِهِ وَالْعَمَلِ بِمَا يُرْضِيْهِ.
“Mendekatlah kepada Allah dengan mentaati-Nya dan mengerjakan amalan yang diridhai-Nya.”
Adapun tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tertentu) ada tiga macam:
1. Masyru’, yaitu tawassul kepada Allah Azza wa Jalla dengan Asma’ dan
Sifat-Nya dengan amal shalih yang dikerjakannya atau melalui do’a orang
shalih yang masih hidup.
2. Bid’ah, yaitu mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan cara
yang tidak disebutkan dalam syari’at, seperti tawassul dengan pribadi
para Nabi dan orang-orang shalih, dengan kedudukan mereka, kehormatan
mereka, dan sebagainya.
3. Syirik, bila menjadikan orang-orang yang sudah meninggal sebagai
perantara dalam ibadah, termasuk berdo’a kepada mereka, meminta hajat
dan memohon pertolongan kepada mereka.
Tawassul dalam pengertian Agama adalah berdoa kepada Allah SWT dengan
menggunakan perantara sesuatu yang mempunyai nilai lebih. Tawassul
berarti menjadikan sesuatu sebagai perantara dalam usahanya untuk
memperoleh kedudukan yang tinggi disisi Allah SWT, atau untuk mewujudkan
keinginan dan cita citanya. Berdoa dengan bertawassul maksudnya memohon
kepada Allah dengan menyebutkan sesuatu yang dicintai dan diridloi-Nya.
Tawassul merupakan salah satu cara atau metode serta bentuk dalam
memohon yang diarahkan dan dihadapkan kepada Allah SWT, dengan
menggunakan “kelebihan” sesuatu dalam do’a tersebut. Sedang hakikat
dalam berdo’a dengan bertawassul adalah menghadap yang sebenar benarnya
kepada Allah SWT. Orang yang bertawassul itu sama dengan berdo’a dengan
menggunakan media atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, kalau
terjadi keyakinan selain ini (hanya sekedar media / wasilah untuk
mendekatkan diri kepada Allah) maka orang yang berdoa telah melakukan
Syirik.
Orang melakukan tawassul atau berperantara dengan seseorang karena dia
mencintainya dan punya keyakinan bahwa Allah juga mencintai orang
tersebut (seseorang yang menjadi perantara tersebut) karena juga sebagai
orang yang Sholih. Namun bertawassul bukan merupakan keharusan dalam
berdo’a, bukan merupakan syarat dalam berdo’a, bukan penyebab
terkabulkan do’a, hanya sekedar menambah kemantapan (dalam perasaan)
untuk terkabulkan doanya, sedangkan dalam berdo’a secara mutlak adalah
permohonan yang tertuju khusus kepada Allah SWT.
Semua ulama sepakat bertawassul kepada Allah SWT dengan menggunakan amal
Sholeh sendiri, sangat dianjurkan, seperti kita melakukan sholat,
berpuasa, baca Alqur’an atau bersedekah kemudian berdo’a kepada Allah
dan bertawassul dengan puasanya, sholatnya, sedekahnya atau bacaan
Alqur’anya. Bertawassul seperti ini sangat diharapkan untuk bisa
terkabulkan do’anya dan memperoleh yang diminta. Dasar dari ungkapan ini
adalah hadits Nabi yang menceritakan tiga orang yang sedang berlindung
didalam gua tapi guanya tertutup dengan batu, sehingga mereka tidak bisa
keluar, mereka sepakat memohon kepada Allah sambil bertawassul dengan
Amal shalih yang pernah mereka lakukan sebelumnya, yang satu bertawassul
dengan perbuatan berbakti kepada kedua orang tuanya, yang satu lagi
bertawassul dengan pernah menjauhi perbuatan dosa atau maksiyat dan yang
terakhir bertawassul dengan pernah menanggung amanat orang lain tanpa
pamrih sedikitpun.
Hadits secara lengkap adalah sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما عن النَبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ:
خَرَجَ ثَلاَثَةُ نَفَرٍ يَمْشُوْنَ، فَأَصَابَهُمْ المَطَرُ، فَدَخَلُوْا
فِِي غَارٍ فِي جَبَلٍ، فَانْحَطَتْ عَلَيْهِِمْ صَخْرَةٌ، قَالَ: فَقَالَ
بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: ادْعُوا اللهَ بِأَفْضَلَ عَمَلٍ عَمِلْتُمُوهُ،
فَقَالَ أَحَدُهُمْ: اَللهُمَّ إِنِّي كَانَ لِي أَبَوَانِ شَيْخَانِ
كَبِيْرَانِ، فَكُنْتُ أَخْرُجُ فَأَرْعَى، ثُمَّ أَجِيْءُ فَأَحْلِبُ،
فَأَجِيْءُ بِالحِلاَبِ، فَآتِي بِهِ أَبَوَيَّ فَيَشْرَبَانِ، ثُمَّ
أَسْقِي الصِبْيَةَ وَأَهْلِي وَامْرَأَتِي، فَاحْتُبِسْتُ لَيْلَةً
فَجِئْتُ فَإِذاً هُمَا نَائِمَانِ، قَالَ: فَكَرِهْتُ أَنْ أُوْقِظَهُمَا،
وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغُوْنَ عِنْدَ رِجْلِي، فَلَمْ يَزَلْ ذَلِكَ
دَأْبِي وَدَأْبُهُمَا حَتَى طَلَعَ الفَجْرُ، اللهُمَّ إِنْ كُنْتَ
تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ، فَافْرُجْ عَنَّا
فُرْجَةً نَرَى مِنْهَا السَمَاءَ، قَالَ: فَفُرِجَ عَنْهُمْ، وَقَالَ
الآخَرُ: اللهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي كُنْتُ أُحِبُّ امْرَأةً
مِنْ بَنَاتِ عَمّي، كَأَشَدِّ مَا يُحِبُّ الرَّجُلُ النِّسَاءَ،
فَقَالَتْ: لاَ تَنَالُ ذَلِكَ مِنْهَا، حَتَى تُعْطِيَهَا مِائَةَ
دِيْنَارٍ، فَسَعَيْتُ فِيْهَا حَتَى جَمَعْتُهَا، فَلَمَا قَعَدْتُ بَيْنَ
رِجْلَيْهَا، قَالَتْ: اِتَّقِ اللهَ، وَلاَ تَفُض الخَاتَمَ إِلاَّ
بِحَقِّهِ، فِقُمْتُ وَتَرَكْتُهَا، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي
فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ، فَافْرُجْ عَنَّا فُرْجَةً،
قَالَ:فَفُرِجَ عَنْهُمْ الثُلُثَيْنِ، وَقَالَ الآخَرُ: اللهُمَّ إِنُ
كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي اسْتَأْجَرْتُ أَجِيْراَ بِفِرَقٍ مِنْ ذُرَّةٍ،
فَأَعْطَيْتُهُ وَأَبَى ذَاكَ أَنْ يَأْخُذَ، فَعَمِدْتُ إِلَى ذَلِكَ
الفِرَقِ فَزَرَعْتُهُ حَتَى اشْتَرَيْتُ مِنْهُ بَقَرًا وَرَاعِيْهَا،
ثُمَّ جَاءَ، فَقَالَ: يَا عَبْدَ الله أَعْطِنِي حَقِّي، فَقُلْتُ
اِنْطَلِقْ إِلَى تِلْكَ البَقَرِ وَرَاعِيْهَا، فَإِنَّهَا لَكَ،
فَقَالَ:أَتَسْتَهْزِئُ بِي؟ قَالَ: فَقُلْتُ: مَا أَسْتَهَزِئُ بِكَ
وَلَكِنّهَا لَكَ، اللهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ
ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ، فَافْرُجْ عَنَّا، فَكُشِفَ عَنْهُمْ .روواه البخاري
في كتاب البيوع حديث رقم: 603
Dari Ibn Umar RA dari Nabi SAW berkata: ada tiga orang yang sedang
melakukan perjalanan, kemudian datang hujan, mereka berteduh di dalam
gua disebuah gunung, dan runtuhlah sebuah batu besar menutup (pintu) gua
tersebut ,-Nabi bercerita- maka sebagian dari mereka mengatakan:
Berdoalah kalian dengan bertawassul / berperantara amal terbaik kalian,
maka berdoalah seseorang dari mereka: Allahumma, saya mempunyai dua
orang tua yang telah renta, pekerjaan saya menggembala (disiang hari),
pulang dan merah susu untuk mereka, aku bawakan susu kepada mereka untuk
diminum, kemudian untuk anak anak dan isteriku. Suatu malam aku
terlambat pulang dan mereka telah tidur, -Nabi SAW bercerita- saya tidak
berani membengunkan mereka, anak anaku di kakiku iri dengan mereka,
begitu itu sampai fajar menyingsing. Ya Allah, Engkau tahu bahwa itu aku
lakukan untuk mencari ridlo-Mu, maka bukakan batu ini sehingga kami
melihat langit. -Nabi SAW bercerita- maka dibukakanlah batu tersebut
sedikit. Yang lain berdoa: Ya Allah, Engkau tahu aku mencinta seorang
perempuan dari sepupuku, seperti orang sedang dimabuk cinta pada wanita,
dia mengatakan: kamu tidak akan mendapatkan tubuhku kecuali memberi
uang seratus dinar. Aku usahakan untuk mengumpulkanya, sampai
kuperolehnya, dan disaat aku sudah duduk diantara kedua pahanya, dia
berkata: Takutlah kamu kepada Allah, Jangan lah kamu lobangi cincin itu
kecuali dengan hak haknya. Aku berdiri dan meninggalkanya.Ya Allah, Kamu
tahu aku melakukan itu karena mencari ridlo-Mu, maka bukakanlah batu
ini. Maka terbukalah batu tersebut dua pertiga. Dan yang lain berdoa: Ya
Allah, Engkau tahu aku mempekerjakan seorang dengan bayaran segantang
jagung, pada waktu aku berikan upah kerjanya dia menolak dan pergi.
Kemudian aku tanam jagung tersebut dan berkembang sampai bisa untuk
membeli sapi dan kandangnya. Beberapa tahun kemudian dia datang sambil
berkata: Hai Abdullah, berikan hak saya yang dulu, aku jawab: ambillah
sapi itu, dia berkata: jangan mengejekku, -Nabi bercerita-: aku
menjawab: bukan aku mengejekmu, tapi itu milikmu. Ya Allah, ku lakukan
itu karena mencari ridlo-Mu, maka bukakanlah batu itu. Dan terbukalah
batu tersebut. (HR Bukhori:603)
Namun yang menjadi permasalahan disini adalah bertawassul bukan dengan
amal shalih sendiri, tapi menggunakan keberadaan atau kepribadian orang
lain, atau bertawassul dengan para Nabi, dengan para Wali Allah, dengan
orang Shalih dan lain sebagainya seperti;
Ya Allah saya bertawasul kepada-Mu dengan keagungan Nabi-Mu Muhammad
SAW, Ya Allah saya bertawasul kepada-Mu dengan Shahabat Nabi-Mu Abu
Bakar Shidiq, Ya Allah saya bertawasul kepada-Mu dengan Kekasih-Mu
Wali-Mu Syekh Abdul Qodir Jaelani, Ya Allah selamatkan umat ini dengan
Ahli perang Badar dan seterusnya, tawassul semacam ini dikatakan oleh
sebagian orang sebagai hal terlarang, yang bid’ah dan yang melakukanya
menjadi musyrik.
Kalau kita perhatikan sejenak, bertawassul dengan keberadaan orang lain
tersebut hakikatnya kita bertawassul dengan amal kita sendiri, kita
punya keyakinan bahwa seseoramg yang kita hormati dan kita cintai adalah
orang yang dicintai oleh Allah SWT, karena beliau adalah orang yang
berjihad menegakkan agama Allah, Rasa cinta kita kepada orang tersebut
merupakan amal kita, dalam berdo’a dan bertawassul tersebut seperti kita
mengatakan: “Ya Allah, saya mencintai dia, dia telah mencintai-Mu, dia
secara ikhlas berjuang menegakkan agama-Mu, dan saya percaya Engkau
mencintainya, Engkau ridlo atas perbuatanya, maka dengan ini aku
bertawassul / berperantara dengan cintaku padanya dan dengan keyakinanku
bahwa Engkau mencintainya agar Engkau memberiku ………”. Ungkapan ini
dengan ungkapan diatas tadi adalah sama, sehingga tidak ada larangan
dari siapapun dalam melaksanakan do’a dengan tawassul seperti contoh
contoh diatas.
Bahkan bertawassul merupakan ajaran yang diajarkan dan dicontohkan oleh
Rasulullah SAW dalam berbagai kesempatan, dan adakalanya menyampaikan
dalam sebuah cerita yang menjadi teladan atau beliau sendiri juga
melakukan.
Beberapa dalil hadits berikut sebagai contoh tawassul:
1. Nabi Adam bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW.
عَنْ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ رضي الله عنه قال: قال رسُولُ الله صلى الله
عليه وسلم: “لَمَا اقْتَرَفَ آدَمُ الخَطِيْئَةَ، قَالَ: يَا رَبِّ !
أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لِمَا غَفَرْتَ لِي، فَقَالَ الله: يَا آدَمُ
! كَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أَخْلُقُهُ ؟ قَالَ: يَا رَبِّ !
ِلأَنَّكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي بِيَدِكَ، وَنَفَخْتَ فِيّ مِنْ رُوْحِكَ،
رَفَعَََََََََََََََْتُ رَأْسِي فَرَأَيْتُ عَلَى قَوَائِمِ العَرْشِ
مَكْتُوْبًا: لااِلَهَ الا الله مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله، فَعَلِمْتُ
أَنَّكَ لَمْ تُضِفْ اِلَى اسْمِكَ إِلاَ اَحَبَّ الخَلْقِ اِلَيْكَ،
فَقَالَ الله: صَدَقْتَ يَا آدَمُ، إِنَّهُ لأَحَبُّ الخَلْقِ اِلَيَّ،
ادْعُنِي بِحَقِّهِ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ، وَلََََََوْلا مُحَمَدٌ مًا
خَلَقْتُكَ”
أخرجه الحاكم في المستدرك وصححه 2/615
Dari Umar ibn Khathab RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: ketika Adam
melakukan kesalahan, berdoa: Ya Tuhanku, saya memohon dengan keberadaan
Muhammad, agar Engkau mengampuniku. Allah bertanya: Hai Adam, Bagaimana
kamu mengenal Muhammad padahal Aku belum menciptakanya ? Jawab Adam: Ya
Tuhanku, sewaktu Engkau menciptakanku, dan meniupkan Ruh kepadaku, aku
mengangkat kepalaku dan kulihat tulisan di tiang Arsy : Lailaha illa
Allah, Muhammad Rasulullah, dari situ aku ngerti bahwasanya Engkau tidak
menyandingkan ke Asma Mu kecuali makhluk yang paling Engkau cintai.
Allah berfirman: Kamu benar hai Adam, dia adalah makhluk yang paling aku
cintai, berdoalah dengan (bertawassul) keberadaanya maka Aku ampuni
kamu, seandainya tidak ada Muhammad aku tidak menciptakanmu.” (HR Al
Hakim dalam Al-Mustadrak 2\615)
Imam Hakim berkata bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanadnya.
Demikian juga Imam Baihaqi dalam kitabnya Dalail An-Nubuwwah, Imam
Qostholany dalam kitabnya Al-Mawahib 2/392 , Imam Zarqoni dalam kitabnya
Syarkhu Al-Mawahib Laduniyyah 1/62, Imam Subuki dalam kitabnya Shifa’
As-Saqom dan Imam Suyuti dalam kitabnya Khosois An-Nubuwah, mereka semua
mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih.
Dan dalam riwayat lain, Imam Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas dengan redaksi:
فلولا محمد ما خلقت آدم ولا الجنة ولا النار (أخرجه الحاكم فى المستدرك ج: 2 وص:615
Beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanad,
demikian juga Syekh Islam Al-bulqini dalam fatawanya mengatakan bahwa
ini adalah shohih, dan Syekh Ibnu Jauzi memaparkan dalam permulaan
kitabnya Al-wafa’ , dan dinukil oleh Ibnu Kastir dalam kitabnya Bidayah
Wannihayah 1/180. Walaupun dalam menghukumi hadis ini tidak ada kesamaan
dalam pandangan ulama’, hal ini disebabkan perbedaan mereka dalam jarkh
wattta’dil (penilaian kuat dan tidak) terhadap seorang rowi, akan
tetapi dapat diambil kesimpulan bahwa tawassul terhadap Nabi Muhammad
SAW adalah boleh.
Dalam hadits ini diceritakan oleh Rasulullah SAW bahwa Nabi Adam
bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW, maka ada kesimpulan yang bisa
dipetik sebagai berikut:
A. Nabi Adam bertawassul dengan makhluk yang belum diciptakan
(Muhammad), berarti boleh melakukan tawassul dengan orang yang tidak
atau belum hidup.
B. Boleh bertawassul dengan keberadaan orang, bukan hanya dengan amal shalih.
C. Bertawassul dengan orang yang mempunyai nilai tinggi disisi Allah.
2. Orang Yahudi bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW.
وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ
وَكَانُوْا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُوْنَ عَلىَ الذِيْنَ كََفَرُوْا،
فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوْا كَفَرُوْا بِهِ فَلَعْنَةُ اللهِ عَلَى
الكَافِرِيْنَ {البقرة 89
“Dan setelah datang kepada mereka Alqur’an dari Allah yang membenarkan
apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka memohon (dengan
bertawassul kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang orang
kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui,
mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah lah atas orang kafir”.
(QS 2:89)
Dalam ayat ini Allah menceritakan ulah kaum Yahudi yang mengingkari
kedatangan seorang Nabi yang mereka tunggu dengan membawa Kitab yang
membenarkan / meluruskan kitab milik mereka, dimana sebelumnya mereka
selalu bertawassul / berperantara dengan Nabi yang akan datang memohon
kepada Allah untuk diberi kemenangan dalam setiap berperang melawan
orang orang kafir.
3. Tawassul dengan Nabi SAW semasa hidupnya.
Diriwatyatkan oleh Imam Hakim:
عن عثمان بن حنيف قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم وجاءه رجل
ضريرفشكا إليه ذهاب بصره، فقال : يا رسول الله ! ليس لى قائد وقد شق علي
فقال رسول الله عليه وسلم : :ائت الميضاة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قل : اللهم
إنى أسألك وأتوجه إليك لنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى
ربك فيجلى لى عن بصرى، اللهم شفعه فيّ وشفعنى فى نفسى، قال عثمان : فوالله
ما تفرقنا ولا طال بنا الحديث حتى دخل الرجل وكأنه لم يكن به ضر. (أخرجه
الحاكم فى المستدرك)
Dari Utsman bin Hunaif: “Suatu hari seorang yang lemah dan buta datang
kepada Rasulullah s.a.w. berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai
orang yang menuntunku dan aku merasa berat” Rasulullah berkata
“Ambillah air wudlu, lalu beliau berwudlu dan sholat dua rakaat, dan
berkata: “bacalah doa (artinya)” Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu
dan menghadap kepada-Mu melalui nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai
Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu
agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafa’at untukku dan berilah
aku syafaat”. Utsman berkata: “Demi Allah kami belum lagi bubar dan
belum juga lama pembicaraan kami, orang itu telah datang kembali dengan
segar bugar”. (Hadist riwayat Hakim di Mustadrak)
Beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanad walaupun
Imam Bukhori dan Imam Muslim tidak meriwayatkan dalam kitabnya. Imam
Dzahabi mengatakatan bahwa hadis ini adalah shohih, demikian juga Imam
Turmudzi dalam kitab Sunannya bab Daa’wat mengatakan bahwa hadis ini
adalah hasan shohih ghorib.
Dan Imam Mundziri dalam kitabnya Targhib Wat-Tarhib 1/438, mengatakan
bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Nasai, Ibnu Majah dan Imam
Khuzaimah dalam kitab shohihnya.
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حَنِيْفٍ، أَنَّ رَجُلاً ضَرِيْرَ البَصَرِ أَتَى
النَّبِيَ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ: ادْعُ اللهَ أَنْ يُعَافِيَنِي،
قَالَ: إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ،
قَالَ: فَادْعُهُ، قَالَ: فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنُ
وُضُوءَهُ، وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ، اللهُمَّ إِنِي أَسْأَلُكَ
وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّي
تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ، لِتَقْضِىَ لِي،
اللهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ . رواه الترمذي في كتاب الدعوات حديث رقم:
16604 قَال الترمذي: حديث حسن صحيح
Dari Utsman ibn Hanif, bahwasanya ada seorang lelaki buta menghadap Nabi
SAW seraya berkata: Doakanlah kepada Allah agar menyembuhkan
kebutaanku. Nabi berkata: kalau memang kamu mau akan aku doakan, dan
kalau kamu bersabar akan lebih baik bagimu. Orang tersebut berkata:
doakanlah. Nabi memerintahkan agar mengambil air wudlu dengan sempurna,
kemudian meminta kepada Allah dengan doa seperti ini: Ya Allah, saya
memohon dan menghadap kepada Mu dengan perantara Nabi Mu Muhammad, Nabi
pembawa rahmat, saya menghadap denganmu (Muhammad) kepada Tuhanku dalam
urusanku agar dikabulkan untukku, Ya Allah kabulkanlah untukku. (HR
Tirmidzi 16604, haditsnya Hasan Shahih)
Dalam hadits riwayat Tirmidzi ini, Nabi mengajarkan bagaimana sebaiknya
tawassul itu dilakukan, diajarkan agar melakukan tawassul dengan
dirinya, tapi doa tetap tertuju kepada Allah SWT. Berdoa memang bisa
langsung kepada Allah, bisa minta kepada orang yang lebih shalih untuk
mendoakan untuknya, tapi juga bisa dilakukan sendiri dan bertawassul
dengan Nabi seperti cerita kedatangan orang tersebut kepada Nabi agar
beliau berkenan mendoakan dan menjadi perantara / wasilah, atau juga
do’a bisa dilakukan dengan tanpa tawassul, tapi bertawassul lebih baik
bagi yang berdo’a seperti yang diajarkan oleh beliau.
4. Tawassul dengan barang bekas dari Nabi SAW
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ خَاتَمُ النَبِي صلى الله عليه وسلم فِي يَدِهِ،
وَفِي يَدِ أَبِي بَكْرٍ بَعْدَهُ، وَفِي يَدِ عُمَرَ بَعْدَ أَبِي بَكْرٍ،
فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ جَلَسَ عَلَى بِئْرِ أَرِيْسَ، قَالَ:
فَأَخْرَجَ الخَاتَمَ، فَجَعَلَ يَعْبَثُ بِهِ فَسَقَطَ،
قَالَ:فَاخْتَلَفْنَا ثَلاَثَةَ أَيَامٍ مَعَ عُثْمَانَ، فَنُزِحَ
البِئْرُ، فَلَمْ يَجِدْهُ .رواه البخاري في كتاب اللباس حديث رقم: 5429
Dari Anas berkata: Cincin Nabi SAW dulu berada di tangan beliau, setelah
itu berada pada tangan Abu Bakar, terus berada pada tangan Umar setelah
Abu Bakar, pada masa Utsman sewaktu beliau duduk dipinggir sumur Aris –
Anas bercerita – beliau melepas cincin tersebut, namun cincin tersebut
terlepas dan masuk kedalam sumur, selama tiga hari kami mencari dengan
Utsman, sampai sumur dikuras cincin tersebut tidak ditemukan. (HR
Bukhori:5429)
Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa barang bekas pakai oleh Nabi SAW
bisa dibuat tawassul, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar dan
Utsman, mereka memakai cincin Nabi SAW untuk apa kalau bukan untuk
bertawassul disetiap langkah dan setiap aktivitas agar memperoleh
perlindungan Allah SWT, lebih jelasnya kita lihat hadits (باب مَا
أَكْرَمَ اللَّهُ تَعَالَى نَبِيَّهُ بَعْدَ مَوْتِهِ) berikut ini:
عن عبدالله عَنْ أَسْمَاءَ فَقَالَتْ هَذِهِ جُبَّةُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم-. فَأَخْرَجَتْ إِلَىَّ جُبَّةَ طَيَالَسَةٍ
كِسْرَوَانِيَّةً لَهَا لِبْنَةُ دِيبَاجٍ وَفَرْجَيْهَا مَكْفُوفَيْنِ
بِالدِّيبَاجِ فَقَالَتْ هَذِهِ كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ حَتَّى قُبِضَتْ
فَلَمَّا قُبِضَتْ قَبَضْتُهَا وَكَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم-
يَلْبَسُهَا فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرْضَى يُسْتَشْفَى بِهَا.
صحيح مسلم – (ج 14 / ص 23
Dari Abdullah berkata: Asma menunjukkan jubbah lorek lorek yang sakunya
terbuat dari sutera tebal yang biasa diperuntukkan para raja Kisra
(Persia), dengan model terbelah depanya, Asma mengatakan: ini Jubbah
Rasulullah SAW yang biasa dipakainya, dulu ada pada Aisyah, namun
setelah Aisyah wafat aku pegang untukku, dan kami mencucinya kalau ada
orang sakit untuk pengobatan agar sembuh. (HR Muslim 14:23)
Beberapa sahabat Nabi bertawassul dengan jubbah beliau dalam urusan
pengobatan untuk setiap orang yang sakit, hal itu dikatakan dengan kata
“Nahnu” yang artinya kami, membuktikan bahwa dalam kepercayaan para
sahabat terhadap barang barang yang ditinggalkan oleh Nabi SAW adalah
mempunyai nilai lebih dibandingkan barang biasa yang juga bisa digunakan
tawassul, selain jubbah dan cincin tersebut masih ada juga mereka
berebut rambut Nabi, helai perhelai disimpannya, bahkan air bekas wudlu
beliaupun diperebutkan disaat beliau masih hidup tanpa ada larangan dari
beliau.
5. Tawassul dengan orang yang punya nilai lebih.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَابِ رضي الله عنه كَانَ
إِذَا قَحَطُوْا اِسْتَسْقَى بِالعَبَاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَلِّبِ فَقَالَ:
اللهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا،
وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا، قَالَ:
فَيُسْقَوْنَ . رواه البخاري في كتاب الجمعة حديث رقم: 954
Dari Anas ibn Malik bahwasanya Umar ibn Khathab apabila mengalami
paceklik (kekeringan) meminta hujan kepada Allah sambil bertawassul
dengan Abbas ibn Abdul Muthalib, beliau berdoa: Ya Allah, dulu kami
meminta kepada Mu sambil bertawassul dengan Nabi Mu, tapi kini kami
memohon kepada Mu sambil bertawassul dengan paman Nabu Mu, maka
turunkanlah hujan. Anas berkata: maka turunlah hujan. (HR Bukhari:954)
6. Tawassul dengan kubur Nabi SAW.
عَنْ أَبِي الجَوْزَاء أَوْسِ بْنِ عَبْدِ الله قَالَ: قَحَطَ أَهْلُ
المَدِيْنَةِ قَحْطًا شَدِيْدًا، فَشَكَوْا إِلَى عَائِشَةَ، فَقَالَتْ:
انْظُرُوْا قَبْرَ النَّبِي صَلىَّ الله عليه وَسَلَّمَ، فَاجْعَلُوْا
مِنْهُ كِوًى إِلَى السَّمَاءِ حَتىَّ لاَ يَكُوْنَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ
السَّمَاءِ سَقْفٌ، قَالَ: فَفَعَلُوْا فَمُطِرْنَا مَطَرًا حَتىَّ نَبَتَ
العُشْبُ وَسَمِنَتْ الإِبِلُ، حَتىَ تَفَتَقَتْ مِنَ الشَّحْمِ فَسُمِيَ
عَامُ الفَتَقِ .رواه الدارمي في المقدمة حديث رقم: 92
Dari Abi al Jauza Aus ibn Abdillah bercerita: Penduduk Madinah dilanda
kekeringan sangat parah, mereka mengadu kepada Aisyah (Isteri
Rasulullah), maka saran beliau: lihatlah kuburan Rasulullah SAW dan
jadikanlah (dalam doa kalian) sebagai kunci (tawassul) ke langit,
sehingga antara kuburan dan langit tidak ada atap yang menghalangi. Abu
al Jauza berkata: mereka melakukan saran tersebut, maka diturunkanlah
hujan sampai rumput tumbuh, dan onta gemuk, sehingga penuh dengan lemak,
akhirnya disebut tahun yang subur. (HR Dailami:92)
Diriwayatkan oleh Imam Bukhori:
عن أنس بن مالك إن عمر بن خطاب كان إذا قطحوا استسقى بالعباس بن عبد المطلب
فقال : اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا ننتوسل إليك بعم
نبينا فاسقنا قال : فيسقون (أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137 )
Riwayat Bukhari: dari Anas bin Malik bahwa Umar bin Khattab ketika
menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul
Muttalib, lalu Abbas berkata: “Ya Tuhanku sesungguhkan kami bertawassul
(berperantara) kepadamu melalui Nabi kami maka turunkanlah hujan dan
kami bertawassul dengan paman Nabi kami maka turunkanlah hujan, lalu
turunlah hujan.
Nabi Muhammad SAW melakukan tawassul.
عن أبى سعيد الحذري قال : رسول الله صلى الله عليه وسلم : من خرج من بيته
إلى الصلاة، فقال : اللهم إنى أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاى هذا فإنى
لم أخرج شرا ولا بطرا ولا رياءا ولا سمعة، خرجت إتقاء شخطك وابتغاء مرضاتك
فأسألك أن تعيذنى من النار، وأن تغفر لى ذنوبى، إنه لا يغفر الذنوب إلا
أنت، أقبل الله بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك (أخرجه بن ماجه وأحمد وبن
حزيمة وأبو نعيم وبن سنى).
Dari Abi Said al-Khudri: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa keluar
dari rumahnya untuk melaksanakan sholat, lalu ia berdoa: (artinya) Ya
Allah sesungguhnya aku memintamu melalui orang-orang yang memintamu dan
melalui langkahku ini, bahwa aku tidak keluar untuk kejelekan, untuk
kekerasan, untuk riya dan sombong, aku keluar karena takut murka-Mu dan
karena mencari ridla-Mu, maka aku meminta-Mu agar Kau selamatkan dari
neraka, agar kau ampuni dosaku sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa
kecuali diri-Mu”, maka Allah akan menerimanya dan seribu malaikat
memintakan ampunan untuknya”. (Riwayat Ibnu Majad dll.).
Imam Mundziri mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu
Majah dengan sanad yang ma’qool, akan tetapi Alhafidz Abu Hasan
mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan.( Targhib Wattarhib 2/
119).Alhafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan dan
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Abu Na’im dan Ibnu
Sunni.(Nataaij Al-afkar 1/272). Imam Al I’roqi dalam mentakhrij hadis
ini dikitab Ikhya’ Ulumiddin mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan,
(1/323).
Imam Bushoiri mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dan hadis ini shohih, (Mishbah Alzujajah 1/98).
Pandangan Para Ulama’ Tentang Tawassul Untuk mengetahui sejauh mana
pembahasan tawassul telah dikaji para ulama, ada baiknya kita tengok
pendapat para ulama terdahulu.
Kadang sebagian orang masih kurang puas, jika hanya menghadirkan
dalil-dalil tanpa disertai oleh pendapat ulama’, walaupun sebetulnya
dengan dalil saja tanpa harus menyertakan pendapat ulama’ sudah bisa
dijadikan landasan bagi orang meyakininya. Namun untuk lebih memperkuat
pendapat tersebut, maka tidak ada salahnya jika disini dipaparkan
pandangan ulama’ mengenai hal tersebut.
Pandangan Ulama Madzhab Pada suatu hari ketika kholifah Abbasiah
Al-Mansur datang ke Madinah dan bertemu dengan Imam Malik, maka beliau
bertanya:”Kalau aku berziarah ke kubur Nabi saw, apakah menghadap kubur
atau qiblat? Imam Malik menjawab: “Bagaimana engkau palingkan wajahmu
dari (Rasulullah) padahal ia perantaramu dan perantara bapakmu Adam
kepada Allah, sebaiknya menghadaplah kepadanya dan mintalah syafaat maka
Allah akan memberimu syafaat”. (Al-Syifa’ karangan Qadli ‘Iyad
al-Maliki jus: 2 hal: 32).
Demikian juga ketika Imam Ahmad bin Hanbal bertawassul kepada Imam
Syafi’i dalam doanya, maka anaknya yang bernama Abdullah heran seraya
bertanya kepada bapaknya, maka Imam Ahmad menjawab : “Syafii ibarat
matahari bagi manusia dan ibarat sehat bagi badan kita” (Syawahid
al-Haq, Yusuf bin Ismail an-Nabhani: hal, 166)
(شواهد الحق ليوسف بن إسماعيل النبهانى ص:166)
Demikian juga perkataan imam syafi’i dalam salah satu syairnya:
آل النبى ذريعتى # وهم إليه وسيلتى
أرجو بهم أعطى غدا # بيدى اليمن صحيفتى
( الصواعق المحرقة لأحمد بن حجر المكى ص:180)
“Keluarga Nabi adalah familiku, Mereka perantaraku kepadanya (Muhammad),
Aku berharap melalui mereka, agar aku menerima buku perhitunganku di
hari kiamat nanti dengan tangan kananku” (Ash-Shawaiq al-Muhriqah Ahmad
Ibn Hajar al-Makki, hal: 180)
- Pandangan Imam Taqyuddin Assubky
Beliau memperbolehkan dan mengatakan bahwa tawassul dan isti’anah adalah
sesuatu yang baik dan dipraktekkan oleh para nabi dan rosul,
salafussholeh, para ulama,’ serta kalangan umum umat islam dan tidak ada
yang mengingkari perbuatan tersebut sampai datang seorang ulama’ yang
mengatakan bahwa tawassul adalah sesuatu yang bid’ah. (Syifa’ Assaqom
hal 160)
- Pandangan Imam Ibnu Taimiyah
Syekh Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya memperbolehkan tawassul
kepada Nabi Muhammad SAW tanpa membedakan apakah Beliau masih hidup atau
sudah meninggal. Beliau berkata : “Dengan demikian, diperbolehkan
tawassul kepada Nabi Muhammad SAW dalam doa, sebagaimana dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi:
أن النبي علم شخصا أن يقول : اللهم إنى أسألك وأتوسل إليك بنبيك محمد نبي
الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى ربك فيجلى حاجتى ليقضيها فشفعه فيّ (أخرجه
الترميذى وصححه).
Rasulullah s.a.w. mengajari seseorang berdoa: (artinya) “Ya Allah
sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dan bertwassul kepada-MU melalui
Nabi-Mu Muhammad yang penuh kasih, wahai Muhammad sesungguhnya aku
bertawassul denganmu kepada Allah agar dimudahkan kebutuhanku maka
berilah aku sya’faat”. Tawassul seperti ini adalah bagus (fatawa Ibnu
Taimiyah jilid 3 halaman 276)
- Pandangan Imam Syaukani
Beliau mengatakan bahwa tawassul kepada nabi Muhammad SAW ataupun kepada
yang lain (orang sholeh), baik pada masa hidupnya maupun setelah
meninggal adalah merupakan ijma’ para shahabat.
- Pandangan Muhammad bin Abdul Wahab (Pendiri Wahabi).
Beliau melihat bahwa tawassul adalah sesuatu yang makruh menurut jumhur
ulama’ dan tidak sampai menuju pada tingkatan haram ataupun bid’ah
bahkan musyrik. Dalam surat yang dikirimkan oleh Syekh Abdul Wahab
kepada warga qushim bahwa beliau menghukumi kafir terhadap orang yang
bertawassul kepada orang-orang sholeh., dan menghukumi kafir terhadap
Al-Bushoiri atas perkataannya “YA AKROMAL KHOLQI” dan membakar Dalailul
Khoirot. Maka beliau membantah : “Maha suci Engkau, ini adalah
kebohongan besar. Dan ini diperkuat dengan surat beliau yang dikirimkan
kepada warga majma’ah ( surat pertama dan kelima belas dari kumpulan
surat-surat syekh Abdul Wahab hal 12 dan 64, atau kumpulan fatwa syekh
Abdul Wahab yang diterbitkan oleh Universitas Muhammad Bin Suud Riyad
bagian ketiga hal 68)
Demikianlah beberapa dasar yang digunakan legalisasi terhadap amaliyah
tawassul, masih banyak dasar lain yang tidak mungkin kita sebutkan satu
persatu didalam lembaran yang sangat terbatas ini, dan perlu diketahui
bahwa ulama mengajarkan bertawassul bukan berarti menyuruh mereka
mengkultuskan kuburan atau penghuni kubur yang telah menjadi bangkai dan
hancur itu, namun kita dianjurkan bertawassul untuk memberi
penghormatan dan pengakuan atas kedudukan dan kemuliaan seorang alim,
mengenang jasa dan jihad mereka dalam menegakkan agama Allah.
Soal: Selain Tawassul tersebut diatas, bolehkah kita memohon kepada orang yang telah meninggal untuk mendoakan kita?
Jawab: Dalam tradisi kita sering melakukan tawassul dengan menjadikan
seseorang yang punya nilai lebih tidak hanya sekedar sebagai wasilah
seperti yang dijelaskan diatas, namun meminta kepadanya agar mendoakan
kepada Allah SWT, mengingat dalam introsepeksi diri (muhasabah nafs)
kita adalah manusia yang banyak dosa, berlipatkan kesalahan, tidak luput
dari perbuatan maksiyat, maka menghadap kepada orang yang dianggap
lebih bersih dari pribadi kita, orang yang lebih bertakwa, orang yang
lebih dicintai oleh Allah (walaupun telah meninggal) agar memintakan
kepada Allah apa yang kita inginkan.
Diantara saudara kita banyak yang berziyarah ke makam para wali, makam
ulama dan kiyai, dalam berziyarah tersebut mereka meminta (berdo’a
sambil bertawasssul) kepada para wali, ulama, dan kiyai yang telah
meninggal tersebut untuk memohonkan kepada Allah atas hajat dan
kebutuhan mereka. Dalam doanya mereka mengatakan: Ya Sunan Kalijaga aku
menghadap kepadamu memohon engkau berkenan memintakan hajat dan
kebutuhan saya kepada Allah, atau ungkapan doa: Romo kyai, kulo sowan
nyuwun dumateng jenengan kersoho nyuwunaken dumateng Alloh supados kulo
diparingi…….
Ini merupakan tawassul yang dilakukan oleh sebagian masyarakat kita,
yang merasa dirinya berlumurkan dosa dan kesalahan sehingga tidak layak
meminta langsung kepada Allah Yang Maha Suci, mereka bertawassul pada
para wali, kiyai, atau ulama untuk dimintakan kepada Allah SWT.
Hal itu sebagaimana terjadi pada masa Kholifah Umar ibn Khathab ketika
dilanda kekeringan yang berkepanjangan, yang menyebabkan kelaparan,
paceklik, paila, atau sejenisnya dengan cerita:
عَنْ مَالِكٍ الدَّارِي قَالَ: أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِي زَمَنِ عُمَرَ
بْنِِ الخَطَّابِ، فَجَاءَ رَجُلٌ اِلَى قَبْرِ النَّبِي صَلَّى الله عَليه
وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْل الله، اِسْتَََسْقِ اللهَ ِلأُمَّتِكَ
فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا، فَأَتَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه
وَسَلَّمَ فِي الْمَنَامِ، فَقَالَ: اِئْتِ عُمَرَ فَاقْرَئْهُ مِنّيِ
السَّلاَمَ، وَاَخْبِرْهُمْ اَنَّهُمْ مُسْقُوْنَ، وَقُلْ لَهُ:عَلَيْكَ
بِالكَيِّسِ الكَيِّسِ، فَأَتَى الرَّجُلُ فَأَخْبَرَ عُمَرَ، فَقَالَ: يَا
رَبِّ، مَا آلوْ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ.رواه البيهقي وابن ابي شيبة
باسناد صحيح وقال ابن حجر في فتح الباري 2/415 اسناده صحيح
Dari Malik Ad-Dary berkata: pada masa Umar ibn Khathab terjadi
kekeringan yang menyebabkan kelaparan, seseorang mendatangi kuburan Nabi
SAW sambil berkata: Ya Rasulallah, mintakanlah hujan kepada Allah untuk
kepentingan ummatmu, karena mereka telah hancur (karena kekeringan).
Rasulullah SAW mendatanginya dalam mimpi dan mengatakan: datanglah
kepada Umar, sampaikan salam dariku, dan sampaikan mereka akan
diturunkan hujan, serta katakan kamu akan mendapat balasan pahalanya.
Orang tersebut mendatangi dan mengabarkan pada Umar, beliau berkata: Ya
Tuhanku, saya tidak akan berlebih lebihan kecuali sesuai kemampuanku.
(HR Baihaqi dan ibnu Abi Syaibah serta Al Bukhori dalam kitab al Tarikh)
Kedatangan seorang sahabat Nabi yang bernama Bilal bin al Harits al
Muzani ke kuburan Nabi SAW dan minta kepada Nabi untuk memohonkan
kebutuhan umat kepada Allah, yang kemudian dalam cerita tersebut tidak
mendapat tentangan dan larangan dari sahabat yang lain, hadits ini
merupakan dasar dari tawassul minta didoakan oleh para wali atau kiyai
yang telah meninggal.
Dengan demikian berarti segala jenis dan cara bertawassul yang sesuai
dengan apa yang telah kami tulis diatas adalah sesuai dengan ajaran
syariah Islam, bukan merupakan hal yang bid’ah apalagi syirik.
Dari penjelasan tersebut, dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Bertawassul adalah berdo’a kepada Allah SWT dengan menggunakan
perantara / wasilah. Dan wasilah dalam doa ini bisa bermacam macam.
2. Doa dengan Tawassul ini tidak ada nilai tambah dibanding doa langsung
kepada Allah SWT, namun untuk memperkuat keyakinan bahwa doa kita akan
terkabulk an oleh Allah, karena banyak kita temukan dasar yang
menyatakan diantaranya bila kita selesai mengkhatamkan Alqur’an maka doa
saat itu akan terkabulkan. Sehingga kita dalam berdoa bertawassul
dengan khatam Alqur’an untuk terkabulkan doanya
3. Bertawassul dengan Amal Saleh sendiri adalah sangat dianjurkan,
mengingat hal itu diceritakan oleh Nabi SAW sebagai contoh bukti amal
baik.
4. Sarana yang bisa digunakan Wasilah atau Tawassul adalah:
a. Orang yang mempunyai nilai lebih, mempunyai nilai tinggi disisi
Allah, dalam keadaan hidup; seperti Nabi, Wali, Kyai, dan lain
sebagainya.
b. Orang yang telah meninggal dunia namun disaat hidupnya dia mempunyai
nilai lebih. Seperti jenazah para wali atau ulama dan lainya.
c. Barang peninggalan yang terkait langsung dengan pribadi yang punya
nilai lebih tersebut. Seperti senjata peninggalan para wali, pakaian
para Wali dan seterusnya.
d. Tempat yang pernah dipakai sosok tersebut diatas. Seperti petilasan
Nabi SAW, Kuburan Nabi SAW, Kuburan Wali, tempat bertapa / semedi (goa
Hiro’) dan lain sebagainya.
e. Secara teori, ada dasar bahwa sesuatu tersebut punya nilai lebih,
seperti air Zam zam, Hajar Aswad, Multazam, Raudloh dan seterusnya.
f. Amal baik dari seseorang, terutama amal yang teristimewa baginya,
sangat mendorong untuk terkabulkan doanya, karena diiringi perasaan yang
mantap dalam berdoa akan terkabulkan doanya.
g. Keagungan, kehebatan atau keistimewaan orang lain, seperti tawassul dengan Ahli Badr, Tawassul dengan “Jah” Rasulullah.
5. Boleh meminta kepada orang yang telah meninggal dunia untuk
memohonkan kepada Allah SWT atas hajatnya. Orang yang meninggal dunia
mendengar salam kita, mengenal kita, bahkan mendengar ucapan kita (lihat
pembahasan Ziyarah Kubur), mereka bila sebagai orang saleh, maka akan
memohonkan kepada Allah SWT atas apa yang kita inginkan.
6. Sebagai manusia yang tak lepas dari dosa, berlumurkan dosa, penuh
dengan khilaf, kiranya kurang layak bila meminta langsung kepada Sang
Kholik, namun kita menjadikan orang yang saleh, yang bersih dari dosa,
yang lebih taat dari kita unt7uk memintakan dan memohonkan hajat kita
kepada Allah SWT.
7. Bertawassul merupakan ajang silaturrohim dari yang masih hidup dengan
yang telah meninggal, bila yang meninggal itu punya nilai lebih
dibanding yang masih hidup, maka kedatangan yang masih hidup merupakan
sowan dan menghadap.
Sandaran lain untuk tawassul jenis ini seperti dalam kitab Sahhihul
Bukhari jilid I, bahwa Sayyidina Umar Ibnul Khattab bertawassul dengan
Rasulullah dan Sahabat Abbas ketika musim paceklik, sebagaimana
disebutkan berikut ini :
عَنْ أَنَسٍ اَنَّ عُمَرَابْنَ اْلخَطَّابِ رَضِىَاللهُ عَنْهُ كاَنَ اِذَا
قَحَطُوْا اِسْتَسْقىَ بِالعَبَّاسِْبنِ عَبْدِاْلمُطَلِّبِ فَقَالَ:
الَّلهُمَّ اِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا
وَاِنَّا نَتَوَسَّلُ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا, قَالَ:
فَيُسْقَوْنَ. رواه البخارى
“Dari sahabat Anas; bahwasannya Umar Ibnul Khattab r.a. apabila dalam
keadaan paceklik (kekeringan) ia memohon hujan dengan wasilah Sahabat
Abbas Ibn Abdil Muthalib, maka berdo’a sayyidina Umar : Yaa Allah
sesungguhnya kami bertawassul kepada Engkau dengan wasilah paman Nabi
kami (Sahabat Abbas) maka berilah kami hujan, berkata Sayyidina Umar
kemudian diturunkan hujan”. (HR Bukhari)
Bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah seperti para
nabi, rasul dan shalihin, bukan berarti meminta kepada mereka, tetapi
memohon agar mereka ikut memohon kepada Allah agar permohonan do’a
diterima Allah SWT. Sebab, seluruhnya juga adalah haq Allah, seperti
disebutkan berikut ini:
لاَمَانِعَ لمِاَ أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لمِاَ مَنَعْتَ
“Tiada ada yang mencegah kalau Allah mau memberi, dan tidak ada yang bisa memberi kalau Allah mencegahnya.”
قُلْ هُوَاللهُ اَحَدٌ, اَللهُ الصَّمَدُ
“Katakanlah Dia Allah yang Maha Esa dan Allah tempat meminta.”
Dalam kitab Al-Kabir wal Awsath Al-Imam Thabrani meriwayatkan sejarah
Fathimah binti Asad Ibu Sayyidina Ali bin Abi Thalib ketika wafat,
Rasulullah SAW yang menggali kuburan dan membuang tanahnya dengan tangan
beliau. Maka tatkala selesai, Rasulullah masuk ke kubur tadi dan
berbaring sambil berdo’a :
اَللهُ الَّذِى يحُىِْ وَيمُيِتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَيَمُوْتُ اغْفِرْ لأُِ
مّىِ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا
مَدْ خَلَهَا ِبحَقّ ِنَبِيّكَ وَاْلأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِى
فَاءِنَّكَ اَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ وَكَبَّرَأَرْبَعًا وَاَدْخَلُوْ هَا
هُوَ وَاْلعَبَّاسُ وَاَبُوْ بَكْرٍ الّصِدّيِقِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمْ
“Allah yang menghidupkan dan yang mematikan dan Dia yang hidup tidak
mati; Ampunilah! Untuk Ibu saya Fathimah binti Asad dan ajarkanlah
kepadanya hujjah (jawaban ketika ditanya malaikat) kepadanya dan luaskan
kuburnya dengan wasilah kebenaran Nabimu dan kebenaran para Anbiya’
sebelum saya, sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dan Rasulullah takbir
empat kali dan mereka memasukkan ke dalam kubur ia (Rasulullah), Sahabat
Abbas Abu Bakar As-Shaddiq r.a.” (HR Thabrani).
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dan Hakim dari shahabat
Anas. Lalu, diriwayatkan pula Ibnu Abi Syaibah dari shahabat Jabir, dan
diriwayatkan pula Ibnu Abdul Barr dari shahbat Ibnu Abbas.
Dengan demikian, bertawassul dengan berdo’a dan mempergunakan wasilah,
baik dengan iman, amal shaleh dan dengan orang-orang yang dekat kepada
Allah SWT jelas tidak disalahkan oleh agama bahkan dibenarkan. Lalu,
bertawassul bukan berarti meminta kepada yang dijadikan wasilah, tetapi
memohon agar yang dijadikan wasilah memberikan keberkahan untuk diterima
do’a para pemohonnya. Selanjutnya, bertawassul dengan wasilah yang
disenangi Allah, atau berdo’a dengan menyebut sesuatu yang disenangi
Allah, tentu Allah akan menyenangi kita, dan meridloinya. Maka apa yang
disenangi Allah, seyogyanya disebut dalam do’a.
Tawassul dengan perbuatan dan amal sholeh kita yang baik diperbolehkan
menurut kesepakatan ulama’. Demikian juga tawassul kepada Rasulullah
s.a.w. juga diperboleh sesuai dalil-dalil di atas. Tidak diragukan lagi
bahwa Nabi Muhammad SAW mempunyai kedudukan yang mulia disisi Allah SWT,
maka tidak ada salahnya jika kita bertawassul terhadap kekasih Allah
SWT yang paling dicintai, dan begitu juga dengan orang-orang yang
sholeh.
Selama ini para ulama yang memperbolehkan tawassul dan melakukannya
tidak ada yang berkeyakinan sedikitpun bahwa mereka (yang dijadikan
sebagai perantara) adalah yang mengabulkan permintaan ataupun yang
memberi madlorot. Mereka berkeyakinan bahwa hanya Allah-lah yang berhak
memberi dan menolak doa hamba-Nya.
Lagi pula berdasarkan hadis-hadis yang telah dipaparkan diatas
menunjukakn bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu yang baru
dikalangan umat islam dan sudah dilakukan para ulama terdahulu. Jadi
jikalau ada umat islam yang melakukan tawassul sebaiknya kita hormati
mereka karena mereka tentu mempunyai dalil dan landasan yang cukup kuat
dari Quran dan Hadist.
Tawassul adalah masalah khilafiyah di antara para ulama Islam, ada yang
memperbolehkan dan ada yang melarangnya, ada yang menganggapnya sunnah
dan ada juga yang menganggapnya makruh. Kita umat Islam harus saling
menghormati dalam masalah khilafiyah dan jangan sampai saling
bermusuhan.
Dalam menyikapi masalah tawassul kita juga jangan mudah terjebak oleh
isu bid’ah yang telah mencabik-cabik persatuan dan ukhuwah kita. Kita
jangan dengan mudah menuduh umat Islam yang bertawassul telah melakukan
bid’ah dan sesat, apalagi sampai menganggap mereka menyekutukan Allah,
karena mereka mempunyai landasan dan dalil yang kuat.
Inilah yang sering dilontarkan para pengikut buta Muhamad Bin Abdul
Wahab, Meski menurut mereka untuk menegakkan tauhid tapi jalan yang
ditempuh agak menyimpang dari jalan islam, Yaitu mencaci, mencela,
membid’ahkan, bahkan mengkafirkan sesama umat islam yang mereka anggap
tidak sefaham dengan mereka.
Tidak hanya dalam masalah tawassul, sebelum kita mengangkat isu bid’ah
pada permasalahan yang sifatnya khilafiyah, sebaiknya kita membaca dan
meneliti secara baik dan komprehensif masalah tersebut sehingga kita
tidak mudah terjebak oleh hembusan teologi permusuhan yang sekarang
sedang gencar mengancam umat Islam secara umum.
Memang masih banyak kesalahan yang dilakukan oleh orang muslim awam
dalam melakukan tawassul, seperti menganggap yang dijadikan tawassul
mempunyai kekuatan, atau bahkan meminta-minta kepada orang yang
dijadikan perantara tawassul, bertawassul dengan orang yang bukan sholeh
tapi tokoh-tokoh masyarakat yang telah meninggal dunia dan belum tentu
beragama Islam, atau bertawassul dengan kuburan orang-orang terdahulu,
meminta-minta ke makam wali-wali Allah, bukan bertawassul kepada para
ulama dan kekasih Allah. Itu semua tantangan dakwah kita semua untuk
kita luruskan sesuai dengan konsep tawassul yang dijelaskan dalil-dalil
di atas.
Komentar