Penjelasan Tentang Mukasyafah
Istilah mukasyafah apabila dilihat dari segi kebahasaan maka ia memiliki
arti terbuka tirai. Adapun dari segi istilah mukasyafah memiliki
beberapa definisi sesuai dengan pendapat masing-masing dari ulama.
Diantara definisi tentang mukasyafah adalah sebagai berikut:
عِلْمُ المُكَاشَفَةِ وَهُوَ نُوْرٌ يَظْهَرُ فِي القَلْبِ عِنْدَ
تَزْكِيَةٍ فَتَظْهَرُ بِهِ المَعَانِي المُجْمَلَة فَتَحْصُلُ لَهُ
المَعْرِفَةُ بِا للهِ تَعَالَي وَاَسْمَائِهِ وَ صِفَاتِهِ وَكُتُبِهِ
وَرُسُلِهِ وَتَنْكَشِفُ لَهُ الأَسْتَارُ عَنْ مُخْبِئَاتِ الأَسْرَارِ
Artinya:
"Ilmu Mukasyafah merupakan cahaya atau nur yang tampak nyata dalam qalbu
ketika pemberishannya, maka tampaklah di dalam qalbu tersebut al-ma'ani
al-mujmalah atau makna-makna yang menyeluruh yang merupakan hasil dari
makrifatullah, asma'Nya, shifat-Nya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, dan
terbukalah baginya segala penutup dari segala rahasia-rahasi yang
tersembunyi."
Adapula yang menjelaskan sebagai berikut:
اِعْلَمْ اَنَّ عِلْمَ المُكَاشَفَةِ هُوَ العِلْمُ بِا للهِ عَزَّ وَجَلَّ
الدَّالُ عَلَيْهِ الرَّادُّ اِلَيْهِ الشَّاهِدُ بِالتَّوْحِيْدِ لَهُ
مِنْ عِلْم ِالإِيْمَانِ وَاليَقِيْنِ وَعِلْمِ المَعْرِفَةِ وَذَلِكَ
غاَيَةُ العُلُوْمِ كُلِّهَا وَاِلَيْهِ تَنْتَهِي هِمَمُ العَارِفِيْنَ
لَا يُوْجَدْ وَرَاءَهُ مَرْمَي الإِنْظَارِ
Artinya:
"Ketahuilah, sesungguhnya ilmu mukasyafah merupakan ilmu dengan Allah
azza wa jalla yang menunjukkan sesuatu pemberian orang yang musyahadah
dengan ketauhidan yang dimilikinya berdasarkan ilmu keyakinan, iman dan
ilmu makrifat. Ilmu mukasyafah adalah puncak segala ilmu, dan ke sana
pulalah titik akhir cita-cita orang yang arif. Tidak ada lagi batas
pandang sesudah itu."
Ada pula yang menjelaskan sebagai berikut:
وَهَذَا هُوَ العِلْمُ الخَفِيُّ الَّذِي اَرَادَهُ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِقَوْلِهِ: اِنَّ مِنَ العِلْمِ كَهَيْئَةِ المَكْنُوْنِ لَا
يَعْرِفُهُ اِلَّا اَهْلَ المَعْرِفَةِ بِاللهِ فَإِذَا نَطَقُوْا بِهِ
لَمْ يُجْهِلْهُ اِلَّا اَهْلَ الإِغْتِرَارِ
Artinya:
"Sehubungan dengan hal ini, ilmu mukasyafah adalh ilmu yang teramat
halus dan tersembunyi yang dimaksudkan oleh kanjeng rasul MUhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya, "Sesungguhnya ilmu itu
laksana barang berharga yang tersimpan. Tak seorang pun yang dapat
memahaminya kecuali golongan arif billah. Maka ketika mereka berbicara
di daamnya tidak ada yang menyepelekannya kecuali golongan orang
ightirar atau berhati lalai."
Dari keterangan di atas, sebatas kalimat terakhir yang perlu
digarisbawahi adalah bahwa ketika mukasyafah itu telah menancap dalam
diri seorang hamba, maka terbukalah segala hijab dari segala
rahasia-rahasia yang tersembunyi. Hal ini mengisyaratkan bahwa dengan
ilmu mukasyafah semua apa yang sebelumnya tersembunyi dan terselubung
dalam sebuah rahasia akan nampak jelas dipandang mata. Dengan demikian,
ketika seorang hamba telah mencapai pada tingkat mukasyafah ini, maka
baginya tidak ada lagi sebuah rahasia yang menyelimuti dalam hatinya.
Dengan ilmu mukasyafah ini pula, seseorang akan mengetahui segala
rahasia yang ada sebab tidak lagi ada batas pandang yang sanggup dicapai
oleh ilmu-ilmu lain selain ilmu mukasyafah. Dengan demikian dapat
dijelaskan bahwasanya ilmu mukasyafah merupakan puncak dari segala ilmu
yang ada di dunia ini.
Sebagai suatu ilmu, ilmu mukasyafh sesungguhnya tidak bisa disamakan
atas disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain, terutama dengan ilmu eksask
yang sering kali menandaskan kajiannya pada prinsip obyktif-nasionalis,
sistematis dan empiris. Ilmu mukasyafah lain dengan ilmu-ilmu tersebut,
hingga imam al-Ghazali menyebut ilmu mukasyafh ini dengan sebutan fauqa
thuril 'aqli atau di atas puncak akal. Sementara itu ilmu-ilmu yang lain
hanya pada batas sesuatu yang dapat digapai oleh akal. Ilmu mukasyafah
hanya bisa didapat melalui nur dari Allah Yang Maha Kuasa Atas
Segalanya.
Ilmu mukasyafah ini merupakan nikmat yang sangat besar sekali yang
membuat hati para hamba Allah merasakan kenikmatan dan kebahagiaan
spiritual yang sangat hebat. Dalam kitab Tafsir Qurthubi dijelaskan
sebagai berikut:
فَيُكْشَف ُالحِجَابُ فَيَنْظُرُوا اِلَيْهِ فَوَ اللهِ ماَ اَعْطَاهُمُ
اللهُ شَيْئًا اَحَبَّ اِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ وَلَا اَقَرُّ
لِأَعْيُنِهِمْ
Artinya:
"Maka terbukalah hijab penutup, maka mereka melihat kepadaNya. Kemudian
demi Allah, tidaklah Allah memberikan kepada mereka sesuatu yang lebih
mereka cintai dari nadzar atau penglihatan tersebut dan tidak ada yang
lebih menyenangkan bagi pandangan matanya dari hal tersebut."
Adapaun dalil dan bukti bahwa ilmu tersebut bisa diperoleh oleh hamba yang taat dan bersih adalah:
Ayat al-Qur'an surat an-Nisa' :113 tentang Nabi Muhammad yang menerima ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum dan hal ghaib.
وَعَلَّمَكَ مَالَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ
"Dan (Allah) telah mengajari dirimu ilmu yang engkau tidak menegtahuinya"
Ayat al-Qur'an surat Yusuf : 68 tentang Nabi Ya'qub yang menerima ilham dari Allah:
وَإِنَّهُ لَذُوْعِلْمٍ لِمَاعَلَّمْناَهُ
"Sungguh Dia (Ya'qub) adalah orang yang mempunyai ilmu, karena Kami telah mengajarinya" Hadits riwayat Muslim dalam Shahih-nya:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ
قَدْ كَانَ يَكُونُ فِي الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ مُحَدَّثُونَ فَإِنْ يَكُنْ
فِي أُمَّتِي مِنْهُمْ أَحَدٌ فَإِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ مِنْهُمْ
قَالَ ابْنُ وَهْبٍ تَفْسِيرُ مُحَدَّثُونَ مُلْهَمُونَ
“Dari Nabi Muhammad Saw, bahwa beliau bersabda: ‘Di dalam umat-umat
sebelum kalian ada para muhaddatsun, maka jika ada satu dari umatku yang
termasuk di dalamnya, maka sesungguhnya ‘Umar bin Khaththab adalah
salah satu dari mereka.
’ Ibnu Wahb mengatakan: ‘Tafsir Muhaddatsun adalah orang-orang yang diberi ilham.”
Hadits ini mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa ilmu ilham bisa
didapatkan oleh selain Nabi Khidhir, seperti Sayyidina ‘Umar dan
lain-lain. Hadits Rasulallah riwayat at-Tirmidzi dari Muadz bin Jabal
bahwa Rasulallah bersabda: "Aku melihat Allah, azza wa jalla menempelkan
telapak-Nya di antara bahuku, kemudian aku merasakan dinginnya
jari-jari-Nya di antara putingku dan kemudian tajalli-lahsetiap sesuatu
kepadaku dan aku mengetahuinya sehingga aku dapat mengetahui apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi dan apa yang terjadi antara tanah
timur (masyriq) dan tanah barat (maghrib)" hadits ini di shahih-kan
oleh al-Bukhari, at-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan lain-lain.
Hadits Riwayat Ibnul Jauzi dalam Manaqib Umar tentang Sayyidina Umar
yang mengatahui tentaranya yang sedang berperang padahal beliau sedang
berkhuthbah. Hadits ini hasan sebagaimana di katakan oleh al-Hafizh Ibnu
Hajar.
Riwayat tentang Sayyidana Abu Bakar yang pernah menebak kandungan
istrinya bahwa bayinya laki-laki. Dan itu ternyata benar adanya. Hadits
riwayat Abu Nu’iam al-Ashfahani dalam Hilyah al-Auliya’ dari Anas :
مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَثَهُ اللهُ تَعَالَى عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Siapa yang mengamalkan apa yang dia ketahui, maka Allah akan memberinya
ilmu yang dia tidak ketahui.” ( Ash-Shawi dalam Hasyiyah Tafsir
al-Jalalain 1/182 menisbatkan ucapan tersebut kepada Imam Malik ) Ibnu
Hajar al-Haitami pernah ditanya tentang hadits ini dan beliau menjawab,
"Sesuai apa yang dikatakan oleh Izzuddin bin Abdissalam bahwa
sesungguhnya orang yang mau mengamalkan apa yang dia ketahui baik wajib
syar’i, atau sunah atau menjauhi makruh dan haram, maka Allah akan
memberinya ilmu ilahi yang sebelumnya dia tidak mengetahuinya" ( Fatawi
Haditsiyyah hlm. 203-204, Darul Fikr. )
Ucapan Ali al-Kisa’i
قَالَ الدَّمِيرِيُّ : وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ الَّتِي سَأَلَ عَنْهَا
أَبُو يُوسُفَ الْكِسَائِيُّ لَمَّا ادَّعَى أَنَّ مَنْ تَبَحَّرَ فِي
عِلْمٍ اهْتَدَى بِهِ إلَى سَائِرِ الْعُلُومِ ، فَقَالَ لَهُ : أَنْتَ
إمَامٌ فِي النَّحْوِ وَالْأَدَبِ فَهَلْ تَهْتَدِي إلَى الْفِقْهِ ؟
فَقَالَ : سَلْ مَا شِئْتَ ، فَقَالَ : لَوْ سَجَدَ سُجُودَ السَّهْوِ
ثَلاَثًا هَلْ يَلْزَمُهُ أَنْ يَسْجُدَ ؟ قَالَ : لاَ ؛ لِأَنَّ
الْمُصَغَّرَ لاَ يُصَغَّرُ
“Ad-Damiri berkata: ‘Masalah ini adalah masalah yang pernah ditanyakan
oleh Abu Yusuf (Hanafiyyah) kepada Ali al-Kisa’i ketika al-Kisa’i pernah
mendakwahkan bahwa siapa yang dalam satu ilmu luas layaknya samudera
maka dia akan bisa pada ilmu-ilmu yang lain. Abu Yusuf bertanya: ‘Anda
adalah imam dalam bidang nahwu dan sastra, apakah Anda bisa fiqh juga?
Al-Kisa’i menjawab: ‘Tanyalah yang Anda suka!’ Kemudian Abu Yusuf
bertanya: ‘Andai ada orang yang sudah melakukan sujud sahwi tiga kali,
apakah dia wajib bersujud untuk kedua kali?’ Al-Kisa’i menjawab: ‘Tidak,
karena sesuatu yang sudah diperkecil (tashghir) tidak boleh diperkecil
lagi.” ( Disebutkan dalam kitab-kitab Fiqh Syafi’iyyah dalam bab sujud
sahwi. )
Ucapan al-Kisa’i tersebut menunjukkan bahwa siapa yang dalam satu
disiplin ilmu agama luas bak samudera, maka dia akan mendapat ilmu
laduni dengan bisa menguasai ilmu-ilmu yang lain.
Kisah yang diceritakan oleh al-Habib Abdullah Alawi al-Haddad tentang
seseorang yang semula bodoh kemudian menjadi alim lewat ilmu wahb dan
ilmu ilahi (ilmu laduni) di bidang ushuluddin dan cabang-cabangnya.
Mereka adalah Sa‘id bin ‘Isa al-Amudi, Ahmad ash-Shayyad, Ali al-Ahdal
dan Abul Ghaits.
Dengan keterangan-keterangan ini pernyataan dan syubhat-syubhat mereka yang tidak pernah di dukung dalil sudah terbantahkan.
Lebih lengkap tentang dalil-dalil ilmu laduni yang dapat di peroleh
selain Nabi Khidhir, lihat Fatawi Haditsiyyah halaman 222 dan Majmu'
Fatawi wa Rasail halaman 202 pembahasan tentang ilham.
Dalam Al-Hikam Syaikh Ahmad bin Muhammad Athaillah memberikan nasihat sebagai berikut:
اِذَا فَتَحَ لَكَ وِجْهَةً مِنَ التَّعَرُّفِ فَلَا تُبَالٍ مَعَهاَ اِنْ
قَلَّ عَمَلُكَ فَإِنَّهُ مَا فَتَحَهَا لَكَ اِلَّا وَهُوَ يُرِيْدُ اَنْ
يَتَعَرَّفَ اِلَيْكَ اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ التَّعَرُّفَ هُوَ مُوْرِدُهُ
عَلَيْكَ وَالأَعْمَالُ اَنْتَ مُهْدِيْهَا اِلَيْهِ وَ اَيْنَ مَا
تُهْدِيْهِ اِلَيْهِ مِمَّا هُوَمُوْرِدُهُ عَلَيْكَ
Artinya: "Apabila Allah telah membukakan pintu makrifat untuk seorang
hamba, karena dengan makrifat Allah itu, engkau tidak perlu kepada
amalanmu yang memang sedikit itu. Karena Allah telah membuka makrifat
untukmu itu berarti Allah brkehendak memberi anugerahNya kepadamu,
sedangkan amal-amal yang engkau lakukan adalah semacam pemberian
ketaatan kepadaNya. Kalau demikian, maka di manakah letaknya
perbandingan antara ketaatan seorang hamba dengan anugerah yang diterima
dari Allah."
Makrifat kepada Allah adalah tujuan yang dijangkau oleh seorang hamba,
dan cita-cita yang diharapkan. Apabila seorang hamba menghadap Allah
karena telah dibukakan baginya pintu makrifat, maka ia akan mendapatkan
ketenangan dalam makrifat itu, karena di dalamnya akan dijumpai
kenikmatan ruhani yang berlimpah-limpah. Senantiasa akan berlimpah
kepadanya pula hasrta memperbanyak amal ibadah, disebabkan begitu banyak
keutamaan yang diberikan Allah kepadanya.
Dengan makrifat itu seorang hamba akan semakin dekat kepada Allah karena
ia dapat memandang Allah dengan makrifatnya itu. Dimaksud makrifat
adalah melihat seorang hamba dengan mata hati sanubarinya (bashirahnya).
Hamba Allah yang dekat kepada Allah, ia akan mampu mengenal Allah dengan
baik, karena makrifat menurut arti harfiyahnya sama dengan mengenal.
Maksud dekat dengan Allah serta mengenal akan sifat-sifat Allah serta
beriman sepenuhnya dengan sifat-sifat yang mulia itu. Dalam ibadahnya
seorang hamba yang bermakrifat kepada Allah dengan pengertian di atas,
berarti ia benar-benar sanggup mengenal Allah. Dengan mata hatinya yang
bersinar ia mendekati Allah untuk mendapatkan rahmat dan kasih
sayangnya.
Makrifat bagi seorang hamba diperlukan dalam beribadah dan beramal,
sebab dengan demikian ia akan sampai kepada tingkat hamba yang haqqul
yaqiin, karena mengetahui bahwa Allah itu ada, adalah menjadi kewajiban
imam seorang hamba. ia baru berada dalam tingkat ilmul yaqin. Ketika
seorang hamba mengenal Allah dengan baik menurut ilmu Allah sendiri,
maka ia telah berada pada tingkat ainul yaqin, dan ketika pengenalannya
dengan Allah menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan, dalam tingkat
makrifat, maka ia telah berada dalam keadaan haqqul yaqiin.
Makrifat kepada Allah dalam tiga tahap ini adalah tugas yang harus
dimiliki oleh si hamba dari waktu ke waktu dalam upayanya menyempurnakan
iman serta ibadahya kepada Allah.
Kedudukan makrifat tidak boleh bertentangan dengan akidah dan syariat,
yang bersumber kepada quran dan sunnah rasulullah Shallallaahu 'Alaihin
wa Sallam. Hamba yang bermakrifat kepada Allah tidak berarti ia
mengurangi ibadah dan amalnya, justru semakin tinggi makrifat seorang
hamba, makin banyak pula amal ibadahnya dan makin sempurna pula amal
keshalihannya. Hamba yang shalih dan sempurna kemakrifatannya, adalah
orang yang kokoh imannya dan tekun ibadahnya, sebab antara iman dan amal
shalih tidak dapat dipisahkan dalam ibadah islam. Allah berfirman dalam
Al-Quran, "Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi
mereka pahala yang tidak putus-putus." (Q.S. At-Tiin: 6).
Makrifat kepada Allah menurut akidah dan syariat hendaklah berdasarkan
iman dan amal shalih. Walaupun pahala bagi seorang hamba yang makrifat
bukanlah tujuan, sebab yang menjadi tujuan dan yang dicarinya ialah
ridha Allah, sebagai anugerah yang sangat berharga.
Komentar